Jumat, 15 Agustus 2008

Mutasyabihat.

Muqadimah

Al- Qur’an sering kali dipakai sebagai dalil untuk memperkuat pendapat seseorang atau suatu golongan. Adalah kenyataan bahwa di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang secara harfiah dan sepintas lalu memberikan pengertian-pengertian yang seolah-olah bertolak belakang satu sama lain dan ini sering dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabihat dan ada kalanya justru aya-ayat yang sudah jelas tanpa pertentangan atau diistilahkan muhkam di jadikan samar dengan pembiasan makna dengan tujuan-tujuan tertentu. Kajian ayat-ayat mutasyabihat ini mudah-mudahan membantu memahami hal ini sehingga kita bisa bersikap seperti apa yang seharusnya dalam mensikapi ayat-ayat seperti ini.

Mutasyabih secara Umum

Dalam Berinteraksi dengan al-Qur’an, Dr. Yusuf al-Qordowi menukil Mufradatnya Raghib al-Asfahani yang mengatakan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an terbagi menjadi:1. Muhkam secara mutlak, 2.Mutasyabih secara mutlak, 3 Muhkam dari satu segi dan mutasyabih dari segi yang lain. Sedangkan al-Mutasyabih secara global dapat dibagi kepada, 1.Mutasyabih dari segi lafal saja, 2.Mutasyabih dari segi maknanya saja. 3.. Mutasyabih dari keduanya[1]

Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata Tasybih artinya penyerupaan sedangkan tasyabuh ialah bila salah satu dari dua hal serupa.

Menyimpang sedikit, dalam ilmu bahasa, tasybih merupakan salah satu bagian dari ilmu balaghah yang menciptakan majas untuk memperindah dan memperkuat arti suatu kalimat.

Contoh dalam bentuk kalimat-kalimat yang mengandung unsur penyerupaan.

1......(aslinya dalam khat arab)

Bintang kejora itu merah seperti rona pipi kekasih dan kerlipannya bagaikan degup hati seseorang yang kasmaran.

2.....

Bila aku rela maka aku setenang air yang jernih; dan bila aku marah maka kau sepanas api yang menggejolak.

3. Al Mutanabi memuji Kafur:

Bila aku dapat meraih cintamu, maka harta tiada berharga, sehebat apapun apa-apa yang di atas debu tetaplah debu.

4. Penyusun Kalilah wa dimmah menyatakan:

Seorang yang memiliki harga diri(muru’ah) itu dimuliakan meskipun tanpa harta, seperti singa, tetap ditakuti meskipun ia diam dan termangu.[2]

Secara istilah mutasyabih memiliki makna,keadaan dimana salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya keserupaan baik secara nyata maupun abstrak.[3] Allah berfirman:

Al-baqarah [2]:25

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٥)

Maksudnya sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan buah-buahan yang dikenal penduduk surga ketika masih di dunia dari segi bentuk dan warna tetapi berbeda dari segi ukuran, rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih artinya mutamasil, (sama) dalam perkataan dan keindahannya. Jadi tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetul sebagian yang lain.

Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-Qur’an bahwa seluruhnya mutasyabih, sebagaimana ditegaskan dalam ayat:

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (٢٣)

23. Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang [1312], gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.

[1312] Maksud berulang-ulang di sini ialah hukum-hukum, pelajaran dan kisah-kisah itu diulang-ulang menyebutnya dalam Al Quran supaya lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap. sebahagian ahli tafsir mengatakan bahwa Maksudnya itu ialah bahwa ayat-ayat Al Quran itu diulang-ulang membacanya seperti tersebut dalam mukaddimah surat Al Faatihah. (az-zumar [39]:23)

Dengan demikian maka ”Al-Qur’an itu seluruhnya adalah mutasyabih.” yang maksudnya Qur’an itu sebagian kandungnya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahan, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula makananya. Terkait dengan pernyataan ini pemakalah berpendapat, seluruh ayat dalam Al-qur’an memiliki lebih dari satu makna. Yang dikenal sebagai ayat-ayat muhkan sekalipun. Misalnya ayat-ayat yang menceritakan kematian Fir’aun secara detail dan jelas tetap menyiratkan makna berupa nasihat untuk orang-orang yang hidup dikemudian hari untuk menjadikan fir’aun sebagai cerminan.

Inilah kemudian yang dimaksud dengan seluruh al-Qur’an adalah mutasyabih.

Mutasyabih dalam arti Khusus

Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang oleh Allah dijadikan mempuinyai sifat-sifat tertentu sehingga pengertiannya rancu bagi orang yang mendengarnya dan untuk mengetahuinya diperlukan pengacuan kepada ayat-ayat lain yang muhkamat dengan melihat qarinah (konteks pembicaraannya).[4]

Dalam Alqur’an:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ (٧)

Dialah yang menurunkan al-Kitab(Qur’an) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang mutasyabihat,. Adapun orang-orang yang dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya unutk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semua itu dari sisi tuhan kami.....” Ali Imran {3}:7).

Mensikapi Ayat-ayat Mutasyabihat yang Khusus

Terdapat perbedaan pendapat mengenai kemungkinan mengetahui ayat-ayat mutasyabihat. Sumber perbedaaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat Warrasikhuna fil ’ilmi . Apakah kedudukan lafadz ini sebagai mubtada’ yang khobarnya adalah yakuuluuna , dengan wawu diperlakukan sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafadz wamaa ya’lamu ta’wilahu illalLah.Ataukah ia ma’tuf, sedang lafadz wayakuuluuna, menjadi hal dan waqafnya pada lafadz warrasikhuunafil’ilmi.

.. ,.

Pendapat pertama diikuti Ubai bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat, Tabi’in, dan lainnya.Berdasar dari keterangan yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya, bersumber dari Ibnu Abbas bahwa ia membaca: Wamma ya’lamu ta’wiilahu illallahu wayakuulurraasikhuunafil’ilmi aamannaabihi.

Dan dengan qiraah Ibnu Mas’ud Wainnata;wiilahuilla’inndallaahiwarrasikhuuna fil’ilmiyakuuluuna aamannaabihi.

Juga dengan ayat itu sendiri yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan mensifatinya sebagai orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan.

Dari Aisyah, ia berkata Rasullulah membaca ayat ini huwalladziiannzala ‘alaikalkitaaba sampai dengan ululalbaab. Kemudian berkata “Apabila kamu melihat orang yang mengikuti mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir Allah maka waspadalah terhadap mereka.

Pendapat kedua yang menyatakan wawu sebagai huruf ataf dipilih sebagian ulama lain yang dipelopori oleh mujahid, Diriwayatkan dari mujahid, ia berkata: “Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas dari fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirnya.

Pendapat ini dipilih juga oleh An-Nawawi dalam syarah muslimnya. Ia menegaskan, inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyuruh hambanya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.

Kompromi dua pendapat

Dengan merujuk pada makna takwil dua pendapat di atas tidak bertentangan karena lafadz takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna.

1 Memalingkan sebuah lafadz dari makna yang kuat kepada makna yang lemah.

2 Takwil dengan makna tafsir (menerangkan dan menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafadz agar maknanya dapat dipahami.

3 Takwil sebagai penjelasan substansi.

Contoh bentuk substansi dari suatu makna sebagaimana dalam hadits :

Rasulullah SAW mengucapkan dalam ruku’ dan sujudnya, Subhana allahuma rabbana wa bihamdika. Allahumagfirli.” Bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Qur’an, yakni firman Allah,”Fa sabbih bi hamdi rabbika wastagfirhu, innahu kaana tawwaaba,[5]

Takwil yang tercela.

Takwil yang tercela adalah takwil yang pertama, yakni memalingkan makna yang rajih kepada makna yang marjuuh .Takwil seperti ini banyak digunakan sebagian ulama mutaakhirirn untuk tujuan lebih memahasucikan Allah SWT dari keserupaan makhluk yang mereka sangka. Misal ketika mereka mentawilkan tangan ”al-yad” dengan kekuasaan ”al-qudrah” karena khawatir ada kesamaan tangan Allah dengan tangan makhluknya. Justru hal ini memaksa mereka untuk membuang segala seseuatu dari Allah yang ada pada makhluknya. Padahal qudrah pun (kekuasaan) ada keserupaannya pada makhluk. Jadi jika penetapan ”tangan di anggap batil dan terlarang, karena ada unsur keserupaan, maka penetapan ”kekuasaan” pun menjadi batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dianggap bahwa lafaz ini ditakwilkan, dalam arti di palingkan dari makana yang rajih kemakna yang marjuh.[6]

Kesimpulan.

Dalam al Qur’an terdapat ayat –ayat yang mutasyabihat secara khusus,dan secara umum seluruh ayat al-Qur’an adalah mutasyabihat. Dalam mensikapinya ada batasan-batasan tertentu untuk mentafsirkannya dan ada batasan-batasan tertentu untuk mendiamkannya. Dengan sifat mutsyabih ini al-Qur’an justru semakin nampak keagungan dan mukjizatnya yang abadi,.

Daftar Pustaka

1.Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Manna Khalil al- Qattan

2. Al Balaghatul Waadhihah, Ali al-Jarim dan Musthafa Amin

3. Mutasyabih, Abdul Jabbar

4. Berinteraksi dengan al-Qur’an, Dr. Yusuf al-Qordowi,Daruss Syuruq.



[1] Berinteraksi dengan al-Qur’an, Dr. Yusuf al-Qordowi,h.386.

[2] Al Balaghatul Waadhihah Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, h 31

[3] Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Manna Khalil al- Qattan ,h.31.

[4] Mutasyabih, Abdul Jabbar ,h.19.

[5] Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Manna Khalil al- Qattan

[6]Ibid

Tidak ada komentar: