Simak tanya jawab dengan Ustadz Ahmad Syarwat ini semoga bisa menjadi pemicu semangat. Di cuplik dari http://www.eramuslim.com/ustadz/dll/8804123326-kriteria-penceramah-harus-bisa-bahasa-arab.htm
Tanya: Ingin membina dan berdakwah terbentur bahasa Arab?
Jawab: Teruskan pembinaan dan dakwah, terutama urusan aqidah dan fikrah dasar. Untuk sekedar memberi pembinaan aqidah dan fikrah yang dasar, memang tidak perlu kriteria seperti yang kami sebutkan.
Kriteria yang kami sebutkan itu, khusus untuk para ustadz yang sudah masuk ke wilayah hukum dan pengamalan syariah. Di mana memang urusan syariah ini penting dan menjadi core dari agama Islam. Maka dibutuhkan orang yang ahli di bidangnya, di mana setidaknya dia paham dan menguasai bahasa Arab dan pernah belajar ilmu syariah.
Selama kajian dan pembinaan hanya masalah aqidah dan fikrah dasar, silahkan saja. Tapi kalau sudah masuk ke wilayah hukum syariah yang detail, maka mau tidak mau Anda harus punya rujukan yang kuat. Dan anda wajib bisa bahasa Arab.
Memang belajar bahasa Arab itu tidak mudah. Ini harus diakui terus terang. Apalagi buat para ustadz yang sudah punya jam terbang tinggi, wah mana sempat. Padahal buat seorang ustadz yang punya jam terbang cukup tinggi, apalagi sudah masuk TV, rasanya sih sudah wajib bisa bahasa Arab.
Pengalaman Susahnya Belajar Bahasa Arab
Apa yang Anda alami sekarang ini, yaitu minder ketika mengetahui bahwa kriteria menjadi ustadz sedemikian berat, juga pernah kami alami sendiri. Jadi, yah, hitung-hitung ini merupakan pengalaman pribadi.
Dahulu sewaktu masih di SMP-SMA, kami termasuk sering aktif di berbagai pengajian, bahkan sewaktu duduk di kelas satu SMA, kami sudah pernah ditugasi oleh Almarhum KH. Ustadz Rahmat Abdullah untuk mengisi daurah (pesantren kilat), yang pesertanya sesama anak SMA juga, tapi lain sekolah.
Ketika kami duduk di semester satu UGM, kami sudah punya beberapa halaqah yang rutin setiap pekan. Mau tahu anggotanya? Ada yang mahasiswa semester akhir, ada juga yang sudah lulus kuliah dan jadi guru, walau pun juga ada yang masih SMA.
Pendek kata, urusan semangat dakwah dan bikin pengajian, boleh dibilang kami termasuk punya semangat 45.
Tapi...Ada sebuah kejadian yang barangkali sekarang ini jadi kenangan manis, walau pun saat itu cukup lumayan menyedihkan. Saat masih kuliah dulu, kami seringkali berdebat masalah agama dengan para kiyai dan ulama. Termasuk orang tua kami sendiri.
Beliau boleh dibilang seorang ustadz yang banyak mengajar ilmu agama, masyarakat sering menyapanya dengan sebutan pak Kiyai. Saat itu konyol memang, dengan secuil bekal ilmu yang didapat sepotong-sepotong, kami berani-beraninya 'menantang' para kiyai.
Perdebatan kami sampai kepada masalah furu'iyah, bahkan kami sempat juga jadi tukang tuduh bid'ah dan sesat. Pokoknya saat itu lucu, semua kiyai kami katakan tukang bid'ah, karena tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah. Semangat tapi agak sesat.
Apalagi saat Almarhum Ustadz Rahmat Abdullah mengajar kami sebulan penuh selama Ramadhan, sebuah kitab yang fenomenal, yaitu kitab Sifat Shalat Nabi, karya Nashiruddin Al-Albani. Wah, saat itu Pedurenan atau kini disebut Kuningan, jadi geger.
Sebab sejak saat itu, anak-anak muda kalu pada shalat, gerakannya jadi lain. Tidak sama dengan gerakan yang biasanya diajakan oleh guru ngaji kami dahulu. Setidaknya, ketika tahiyat akhir, jari telunjuk kami jadi goyang-goyang, tidak lagi lurus saat mengucapkan 'illallah'.
Ditantang Bahasa Arab
Saat itulah orang tua kami menegur kami dengan sebuah teguran yang cukup membuat kami terhenyak. Masih terngiang di telinga kami beliau bilang begini, "Kalau kamu merasa sudah pintar, coba baca tuh kitab-kitab yang berjejer di lemari buku. Itu tulisan para ulama betulan, bukan sekedar foto-kopian. Kalau punya ilmu jangan dari fotokopian dog, tapi langsung merujuk ke kitab aslinya."
Saat itu kami gelagapan juga dan akhirnya duduk terdiam. Terus terang, meski sudah jadi jago halaqah dan daurah, sampai beberapa teman menggelari kami sebagai PHd (Pakar Halaqah dan Daurah), tapi urusan baca kitab, terus terang kami tidak paham alias o-on.
Di rumah kami memang ada banyak kitab tebal-tebal, berjejer rapi di beberapa lemari buku. Orang tua kami rajin membaca kitab itu, oleh-oleh kuliah di Mesir, terutama sore hari menjelang Maghrib, sebagai persiapan untuk mengajar pengajian di beberapa tempat.
Satu pun dari kitab itu tidak ada yang bisa kami baca. Meski sempat belajar Nahwu dan Sharf sewaktu duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, tetapi sekedar kenal fi'il dan maf'ul belum berarti langsung bisa baca kitab.
Awalnya kami kesal, tapi lama-lama kami mikir juga. Benar juga ya apa yang beliau bilang. Kok kami jadi orang sok pinter, sok tahu dan sok ahli agama, padahal satu biji kitab pun kami tidak bisa baca. Jangankan satu kitab, selembar halamannya pun tidak bisa juga.
Tamu dari Arab
Saat itu, sekitar tahun 90-an, ada banyak tamu dari beberapa negeri Arab, baik Saudi, Mesir, Jordan dan lainnya. Setiap kali ada tamu, biasanya para aktifis dakwah diberi kesempatan untuk bertemu dengan mereka. Dan diadakanlah acara pengajian kecil-kecilan, tentunya dengan nara sumber para tamu itu.
Yang sangat membuat kami kesal saat itu, nama kami tidak tercantum dalam daftar peserta. Ternyata syarat mengikuti acara tersebut haruslah para aktifis yang sudah pandai berbahasa Arab.
Ada pertemuan dengan Dr. Yusuf Al-Qaradawi dari Qatar yang kami sangat ingin bisa ikut di dalamnya, tapi menyesal sejadi-jadinya, karena kami tidak memenuhi syarat. Ada pertemuan dengan Syeikh Dr. Abdullah Qadiri Al-Ahdal dari Universitas Islam Madinah, kami juga tidak boleh ikut. Wah, pokoknya frustasi dan kesal sekali. Ini semua gara-gara kami tidak bisa bahasa Arab.
Ini pukulan telak yang kedua.
Akhirnya kami bertekad, pokoknya saya harus bisa bahasa Arab, apa pun yang terjadi. Dan realisasinya adalah mendaftarkan diri ke LIPIA. Sayangnya, waktu tes wawancara, tidak lulus. Sebab yang melakukan tes orang Arab semua, tiga orang, gede-gede lagi.
Tapi tekad tetap tekad, tahun berikutnya ikut lagi tes masuk. Eh, alhamdulilah, lulus dan diterima di mustawa awal i'dad lughawi. Maka saat itu kami risain dari LPPD Khairu Ummah, minta diri kepada Al-Ustadz Abu Ridha untuk urusan belajar. Alhamdulillah, beliau mengizinkan dan jadilah kami mahasiswa LIPIA, kuliah cukup lama, kurang lebih 7 tahun lamanya.
Saat kami lulus, orang tua kami sangat bangga, anaknya sudah bukan lagi anak sok tahu yang tukang bikin ribut tapi otaknya kosong melompong. Beliau saat itu bisa mengajak kami diskusi, membaca kitab-kitab para ulama dari berbagai disiplin ilmu dan literatur.
Sebab sewaktu kuliah di LIPIA, ternyata kami tidak berhenti cuma sampai lulus 'idad luhgawi saja, tapi kami terus ke takmili, bahkan nekat masuk juga syariah. Ustadz Subki Al-Bogori pernah dalam satu kesempatan berseloroh, "Wah antum enak nih, kuliah di LIPIA sampai lulus syariah. Ane cuman sampe takmili doang, kagak bisa terus."
Saat itu kami jawab, "Biar pun begitu, ente udah jauh lebih baik dari ustadz kondang lain. Banyak dari mereka yang telanjur ngetop, tapi bahasa Arabnya jeblok. Kalau ente, meski kagak lulus sampai Syariah, tapi minimal bisa baca kitab dan literatur. Jadi syukuri saja ya akhi."
"Bener juga antum, ustadz, " begitu jawabnya.
Saran Buat Antum
Jadi pesan kami buat antum, kalau memang ada kesempatan untuk menambah ilmu, jangan disia-siakan. Jangan berhenti dan jalan di tempat. Jangan merasa cukup dengan apa yang sudah kita miliki. Coba pasang niat untuk suatu saat belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah. Kalau belum bisa sekarang, setidaknya sudah ada niatnya.
Tapi jangan jadi fatalis, jangan berpikir belum bisa bahasa Arab dan ilmu syariah, mau mundur dari dunia dakwah. Itu malah lebih salah. Sekarang ini, saat mana tidak ada lagi orang yang bisa diharapkan untuk mengisi kekosongan, maka isilah sebisa mungkin.
Kami ingat zaman dulu, tahun 80-an. Saat itu anak FISIP, Psikologi, MIPA dan lainnya, pada jadi ustadz. Habis tidak ada lagi orang lain. Mau tidak mau, apa yang bisa dikerjakan, ya dikerjakan, walau pun belum ideal. Tidak ada rotan akar pun jadi.
Tapi masuk ke era 90-an dan 2000-an, sudah banyak lulusan dari LIPIA, Saudi,
Almarhum Endang Saifuddin Anshari, adalah teladan yang patut ditiru. Beliau tinggal di Bandung, tapi kuliah di LIPIA Jakarta, seminggu dua kali. Ikut program i'dad lughawi non intensif.
Padahal siapa sih yang tidak kenal beliau, tokoh muda, aktifis dakwah, namanya kondang ke mana-mana, tapi masih rela seminggu dua kali bolak-balik Jakarta Bandung, naik kereta api. Hanya khusus karena beliau merasa belum bisa bahasa Arab. Memang ilmu itu mahal, tidak bisa didapat hanya lewat keturunan. Meski ada pepatah mengatakan al-ilmu nurun, tapi yang jelas artinya bukan ilmu itu nurun dari bapaknya. Tidak mentang-mentang bapaknya kiyai, lantas anaknya juga jadi kiayi. Wallahu a'lam bishsawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
. Ahmad Sarwat, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar